:::

JALAN-jalan Yogyakarta memang cocok dan nyaman untuk bersepeda, tak heran berbagai jenis sepeda bermunculan di kota ini. Satu di antaranya yang sering kita lihat adalah sepeda tinggi.

Sepeda dengan ukuran tinggi ini seakan mencolok pemandangan orang yang melihatnya. Ukuran tinggi sepeda ini juga beragam antara 1,5 meter hingga 3 meter. Yang lebih unik adalah bahan bakunya yang terbuat dari besi tua, dan bekas sepeda yang sudah menumpuk di rongsokan. Hal ini seolah menjadi antitesis yang mengatakan bahwa bersepeda adalah hobi mahal, dan harus menggunakan sepeda keluaran pabrik dengan harga selangit.

Sebelum merakit, peminat sepeda tinggi harus membuat sketsa rancangan terlebih dahulu, kemudian berburu rongsokan sepeda di pasar loak. Setelah menemukan barang yang dibutuhkan seperti rangka sepeda, rantai, gear, setir dan lainnya, kemudian semuanya di las.

Para penggemar sepeda tinggi ini pun mendirikan komunitasnya sendiri. Komunitas Sepeda Tinggi Yogyakarta ini berawal sejak akhir 2006. Adalah sebuah kelompok sirkus dari Italia yang menggelar pertunjukkan di Yogyakarta, satu di antara seniman sirkus tersebut kemudian membarter sepeda tinggi hasil rakitannya dengan tato karya seniman Dhomas Yudhistira, Setelah prose barter tersebut, 10 orang tertarik untuk merakit sepeda tinggi. Mereka berburu besi tua dan kerangka sepeda yang tidak terpakai yang kemudian dirakit menjadi sepeda model ini.

Eko adalah satu di antara pengendara sepeda tinggi di Yogyakarta, menurutnya yang penting dari mengendarai sepeda ini adalah keseimbangan, dan ketenangan. Sepeda ini cocok sekali bagi mereka yang berkarakter santai dan eksentrik. Kenikmatan mengendarai sepeda ini menurut Eko adalah daya jangkaunya yang luas.

 

“Kita jadi bisa melihat jalan dari jauh, bahkan bisa melihat jika dari jauh ada kemacetan,” ujarnya pemuda kelahiran 1994 ini kepada tribune Jogja.

 

Untuk mengendarai sepeda tinggi, menurut Eko terlebih dahulu harus menguasai teknik yang benar. Yang paling penting adalah belajar menaiki sepeda ini. “Biasanya paling lama belajar satu minggu, namun jika sudah tahu teorinya, tiga atau empat hari juga sudah lancar,” jelas Eko.

Kini anggota Komunitas Sepeda Tinggi Yogyakarta ini sudah lebih dari 20 orang. Biasanya komunitas ini berkumpul kilometer nol Yogyakarta, terutama setiap malam minggu. Komunitas ini juga aktif meramaikan Jogja Last Friday Ride (JLFR) yang merupakan pestanya para pesepeda di Yogyakarta.

Eko dan kawan-kawannya selalu berkeliling kota mengendarai sepeda tinggi mereka, soal rutenya dibuat berdasarkan kesepakatan setiap kali berkumpul. ”Bagi yang mau belajar dan konsultasi, kami selalu membuka ruang dan siap untuk berdiskusi soal sepeda tinggi,” kata Eko.

Eko menjelaskan bahwa cara naik dan turun dari sepeda tinggi memiliki trik khusus, terutama bagaimana cara berhenti jika melewati perempatan jalan dan lampu merah. Untuk berhenti biasanya Eko cukup dengan memegang tiang atau pohon yang ada di pinggir jalan. Cara lainnya adalah dengan bersandar pada mobil yang sedang berhenti menunggu lampu hijau menyala.

 

 

Kini anggota Komunitas Sepeda Tinggi Yogyakarta ini sudah lebih dari 20 orang. Biasanya komunitas ini berkumpul kilometer nol Yogyakarta, terutama setiap malam minggu. Komunitas ini juga aktif meramaikan Jogja Last Friday Ride (JLFR) yang merupakan pestanya para pesepeda di Yogyakarta.

Eko dan kawan-kawannya selalu berkeliling kota mengendarai sepeda tinggi mereka, soal rutenya dibuat berdasarkan kesepakatan setiap kali berkumpul. ”Bagi yang mau belajar dan konsultasi, kami selalu membuka ruang dan siap untuk berdiskusi soal sepeda tinggi,” kata Eko.

Eko menjelaskan bahwa cara naik dan turun dari sepeda tinggi memiliki trik khusus, terutama bagaimana cara berhenti jika melewati perempatan jalan dan lampu merah. Untuk berhenti biasanya Eko cukup dengan memegang tiang atau pohon yang ada di pinggir jalan. Cara lainnya adalah dengan bersandar pada mobil yang sedang berhenti menunggu lampu hijau menyala.

 

Dikutip:tribune

a

Respon Pertama

Berita Populer

回到頁首icon
Loading