:::

Tidak Memaksakan Diri Menjadi Orang Tua yang Sempurna, Hanya Membantu Anak Mencari Impiannya

Tidak Memaksakan Diri Menjadi Orang Tua yang Sempurna, Hanya Membantu Anak Mencari Impiannya



Kenny Bersama Ibu berfoto di Depan Bendera Indonesia

        Saya adalah Yenny Ferryanto/馮燕妮 lahir di kota Tarakan, Kalimantan Utara. Bermulai dari bersekolah di Indonesia, berkuliah di Taiwan, bekerja di perusahaan Taiwan, menikah sampai mempunyai anak selalu menghadapi tantangan beradaptasi dengan perbedaan budaya. Cerita bermula dari saya bersekolah di Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia wajib memiliki agama, hal ini dapat terlihat di kartu tanda penduduk Indonesia (KTP) kami yang tertera kolom agama. Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia ada 6 macam yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Buddha dan Kong Hu Cu. Undang-undang dasar (UUD) 1945 menjamin hak kebebasan memilih agama bagi rakyat Indonesia. Ideologi orang Indonesia sangat erat berkaitan dengan kepercayaan agama, misalnya dari taman kanak-kanak (TK) sampai srata-1 (S1) terdapat pelajaran agama; hal ini sangat berbeda dengan lingkungan pendidikan di Taiwan. Pada saat TK, agama yang pertama kali saya kenal di sekolah adalah agama Islam. Kemudian saya bersekolah di sekolah dasar (SD) negeri, di mana terdapat 40 murid yang beragama Islam, sedangkan orang tuaku mendaftarkan saya belajar di pelajaran agama Buddha. Sehingga saat jam pelajaran agama Islam mulai, hal yang paling mengesankan adalah saya bersama 4 murid yang beragama Buddha membawa tas kami keluar dari ruang kelas kemudian pindah ke ruang kelas agama Buddha. Peristiwa itu menyadarkan saya bahwa lingkunganku penuh dengan berbagai agama dan budaya.

        Saat sekolah menengah pertama (SMP) orang tua mendaftarkan saya ke SMP Katolik, mereka berasumsi ada suster dan pastor yang lebih ketat dalam mendidik siswa, sehingga dapat melindungi saya dari perilaku dan pergaulan yang tidak baik. Setiap hari Jumat saya beribadah di gereja Katolik, di mana gereja dibangun di dalam sekolah. Pada masa SMP adalah masa yang sangat tertekan, karena harus menghadapi perbedaan agama, budaya, teman baru yang tidak ramah bahkan ingin menindasku. Setelah lulus SMP saya meninggalkan kampung halaman dan melanjutkan pendidikan di SMA yang berlatar belakang agama Kristen Protestan. Dapatkan Anda membayangkan suasana sekolah yang sangat berbeda di mana ada kesenjangan kualitas pendidikan antara kota kecil dan kota besar, teman-teman yang berasal dari berbagai provinsi dengan latar belakang ekonomi yang berbeda?

 

        Mengingat kembali pengalaman hidupku yang selalu menghadapi perbedaan teman, lingkungan, agama dan budaya. Bagaimana saya menghadapinya satu persatu? Saat saya merasa tertekan, berkali-kali menghadapi ketidaknyamanan dalam pergaulan, adaptasi lingkungan yang kurang baik, membuatku semakin tidak percaya diri. Dalam kondisi ini membuatku bertekat melatih kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mencari jawaban. Saat mencari jawaban, saya tiba-tiba menyadari” Ah…ternyata jawaban ada di dalam buku dan pikiran orang bijak, alangkah baiknya jika saya bisa lebih awal mengenal mereka”. Oleh karena itu, setiap kali saya menemukan jawaban atas tantangan hidupku, saya ingin segera memberi tahu ke Kenny (anakku) untuk meningkatkan pengenalan tentang dirinya sendiri demi mencapai kedamaian batin. Saya merasa” melakukan hal yang tepat, pada waktu yang tepat” sangatlah penting. Sejak awal hamil saya mulai membaca berbagai buku tentang bagaimana mendampingi anak bertumbuh kembang, serta mengingat kembali pengalaman tumbuh kembangku. Saya merangkum beberapa kemampuan yang perlu dikembangkan anak-anak pada masa pertumbuhannya:

       1.Kemampuan Mengelola Emosi:

Mengenalkan ke anak jenis-jenis emosi; memperbolehkan anak marah, menangis meluapkan emosi asal tidak melukai diri sendiri dan orang lain. Sangat penting untuk mengenali emosi sendiri, karena hanya dengan mengetahui kepribadian dan prinsip diri sendiri, baru dapat memiliki hubungan sosial yang baik. 

       2.Kemampuan Berbahasa Asing:

Bahasa adalah kunci untuk mengenal pengetahuan baru dan memahami budaya yang berbeda. Mengingat saya mampu menjadi guru pelatih bahasa Indonesia di Kementerian Pendidikan Taiwan untuk melatih tenaga pengajar bahasa Indonesia, dan ikut serta dalam menyusun dan mengedit buku pelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan kurikulum 2019 Taiwan. Kesempatan ini adalah tantangan yang sangat berarti bagi saya. Pada masa hamil, saya mulai memutar musik bahasa Indonesia, Inggris, Hokkien, klasik dan lain-lain untuk Kenny (anak saya). Sekarang dia sudah berumur 3.5 tahun, kadang-kadang bisa menyanyikan lagu bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin dan Hokkien; membuat sangat gembira. Ketika Kenny belum bisa berbicara, saya selalu mencoba berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa Indonesia seperti berbicara dengan diri sendiri, tetapi pelan-pelan dia mulai bisa mengucapkan beberapa kosakata bahasa Indonesia, dan saat dia menyenandungkan nada lagu anak-anak Indonesia, saya merasakan suatu pencapaian yang luar biasa yang membuat saya menyadari bahwa “Terus menerus melakukan hal yang benar dan menunggu dengan sabar sangatlah penting.”


Sejak Kecil Kenny Sudah Akrab dengan Bahasa Indonesia

       3.Mendukung Anak Banyak Menggerakan Tangan Berpartisipasi Melakukan Berbagai Kegiatan Pembelajaran yang Berbeda:

Hal ini dapat memperdalam pengetahuan yang baru dipelajari, meningkatkan minat belajar, menemukan bakat serta merangsang otak anak untuk berpikir berbagai kemungkinan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya.

Kemampuan tersebut juga sesuai dengan tujuan pembelajaran kurikulum 2019 Taiwan: “Ilmu yang dipelajari di sekolah seharusnya dapat membantu kita mengatasi masalah dalam kehidupan.”

Tujuan pembelajaran kurikulum 2019 Taiwan terdiri dari:

  1. Pengetahuan (apa yang dipelajari di rumah, sekolah, dan masyarakat);
  2. Keterampilan (mampu menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari);
  3. Sikap (pengetahuan yang dipelajari, dapat diterapkan di lingkungan sekitar menjadi warga yang baik.)



Kenny Bersama Ayah Pertama Kali Memakai Blangkon

Di masa akan datang juga perlu menumbuhkan kecerdasan budaya (Cultural Quotient/CQ), yaitu memiliki kemampuan beradaptasi dengan berbagai budaya. Selain mengajarkan anak-anak untuk mengenali emosi mereka sendiri, mereka juga harus memiliki kemampuan untuk berteman dengan tekanan hidup, kemampuan pulih dari kegagalan. Saya juga akan terus menerus berbagi pengalaman ke Kenny mengenai apa makna dari kehidupan, mengerti setiap kali belajar, gagal, bangkit kembali adalah selangkah mendekati impian.

Terakhir, saya mau berbagi sebuah pemikiran yang baru kupelajari,"Kebahagiaan datang dengan mengenal diri sendiri, berkomunikasi dengan diri sendiri, berteman dengan latar belakang dan budaya yang berbeda untuk membuka wawasan, maka hati akan ceria."

Penulis: Yenny Ferryanto/ 馮燕妮

 

 

 

 

1

2

Respon Pertama

Berita Populer

回到頁首icon
Loading