Ketika menghadapi hasil ujian, orang tua sering kali khawatir bahwa anak mereka mungkin tidak tampil baik, dan tanpa sadar berkata: "Berapa nilai yang kamu dapatkan hari ini?" atau "Mengapa anak tetangga selalu lebih baik dari kamu?" Kata-kata yang tampaknya tidak berbahaya ini mungkin datang dari perhatian orang tua, tetapi bisa menjadi beban besar bagi anak-anak. Sebuah survei dari Aliansi Kesejahteraan Anak mengungkapkan bahwa 40% orang tua sering kali membandingkan anak mereka, yang menjadi beban terbesar dalam perjalanan belajar anak. Perilaku ini tidak hanya mempengaruhi rasa percaya diri anak, tetapi juga dapat merenggangkan hubungan antara orang tua dan anak.
Di bawah tekanan tugas sekolah yang berat, siswa di Taiwan umumnya menghadapi lebih dari 10 jam waktu belajar setiap hari. Bagi anak-anak ini, mereka tidak hanya harus menghadapi tugas sekolah yang berat tetapi juga harus menanggung harapan dan perbandingan dari orang tua. Laporan "Kondisi Pembelajaran Anak di Taiwan Tahun 2023" dari Aliansi Kesejahteraan Anak menunjukkan bahwa hampir 40% anak-anak mengatakan bahwa orang tua mereka sering membandingkan mereka dengan orang lain, dan lebih dari 38% anak-anak mengatakan bahwa orang tua mereka menetapkan standar nilai ujian. Hal ini membuat anak-anak yang sudah merasa lelah menjadi semakin terbebani secara psikologis.
Alasan mengapa orang tua suka membandingkan sering kali berasal dari kebutuhan "superioritas" yang ada dalam sifat manusia. Psikolog klinis Chen Pin-Hao menjelaskan bahwa mempertahankan citra luar adalah naluri alami manusia. Ketika kita berada dalam keadaan superior, kita merasa puas dan bangga. Namun, beberapa orang tua tidak dapat menerima kekurangan mereka sendiri atau anak-anak mereka, sehingga mereka memilih untuk membandingkan demi mencari perasaan superioritas, tetapi perilaku ini sering kali mengabaikan dampak negatif terhadap anak.
Ketika orang tua mendapati bahwa anaknya tidak bisa dibandingkan dengan orang lain, mereka mungkin akan berkata: "Lihat betapa baiknya anak-anak orang lain!" Kata-kata seperti itu tentu saja memberikan tekanan pada anak-anak mereka, membuat mereka merasa semakin rendah diri dan tidak berdaya. Chen Pinhao mengingatkan agar orang tua menghindari membandingkan anak. Prinsipnya adalah "hanya membandingkan diri sendiri, bukan anak". Dalam situasi sosial, ketika orang lain bertanya, "Bagaimana kabar anak-anak Anda akhir-akhir ini?" orang tua dapat dengan mudah menjawab, "Berkinerja baik," atau menerima pujian orang lain dengan murah hati dan mengakhiri topik dengan cepat agar tidak terlalu fokus pada kinerja anak.
Kebiasaan orang tua yang suka membandingkan berasal dari kebutuhan untuk mempertahankan citra eksternal. Orang yang merasa rendah diri dan menyangkal diri sendiri cenderung lebih sering membandingkan diri dengan orang lain, bahkan menularkan pola pikir ini kepada anak-anak mereka. (Gambar/Heho)
Peduli terhadap lebih dari sekedar nilai: kebijaksanaan yang harus dipelajari orang tua
Survei Liga Anak-Anak juga menemukan bahwa selain perbandingan, kekhawatiran banyak orang tua tampaknya terbatas pada prestasi akademis. Survei tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 20% anak-anak percaya bahwa orang tua mereka hanya peduli pada nilai mereka dan mengabaikan hal-hal kecil dan besar lainnya dalam hidup. Tidak hanya itu, beberapa anak bahkan mengalami penghinaan verbal bahkan hukuman fisik dari orang tuanya karena kinerjanya yang buruk, yang tentunya berdampak buruk pada perkembangan fisik dan mental anak.
“Mengapa orang tua hanya mementingkan nilai?” Ini mungkin keraguan terbesar di hati banyak siswa. Psikolog konseling Deng Shanting menjelaskan bahwa masyarakat Asia cenderung sangat mementingkan nilai, karena nilai merupakan standar pengukuran yang paling langsung dan dapat dengan cepat menentukan kinerja seorang anak. Namun, standar tunggal seperti itu telah menempatkan banyak siswa di bawah tekanan psikologis yang luar biasa. Entah mereka tidak mampu memenuhi harapan mereka sendiri atau khawatir bahwa nilai mereka tidak sebaik teman-teman mereka, hal-hal ini merupakan sumber kecemasan yang umum dalam kehidupan siswa sehari-hari.
Deng Shanting mengingatkan, dalam proses pendewasaan, menjajaki arah masa depan perlu melalui masa kebingungan. Ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dalam satu atau dua semester. Ia berharap siswa tidak terlalu membebani dirinya sendiri. Ini adalah proses yang membutuhkan observasi jangka panjang dan trial and error. Bagi orang tua, yang terpenting adalah memberikan kesabaran dan pengertian yang cukup kepada anak, dan tidak meminta mereka untuk segera memenuhi ekspektasinya, tetapi menghormati ritme pertumbuhannya, benar-benar dapat membantu mereka mengurangi tekanan di pundaknya.
Mengurangi perbandingan dan menghargai kecepatan anak Anda adalah dukungan terbaik
Pertumbuhan seorang anak tidak semata-mata ditentukan oleh prestasi akademis dan kepercayaan diri adalah tujuan yang sama pentingnya. Orang tua harus berusaha menghindari perbandingan dan belajar menghargai setiap kemajuan kecil anak-anaknya. Ini adalah kunci agar anak tumbuh bahagia. Jika orang tua tidak lagi hanya fokus pada angka dan peringkat, tetapi menghargai dan memahami gagasan anak, saya yakin hubungan antara orang tua dan anak akan semakin erat, dan anak akan tumbuh lebih sehat dan nyaman.
Orang tua harus ingat bahwa daripada menggunakan skor untuk mengukur nilai anak-anak mereka, lebih baik menemani mereka menjelajahi dunia yang tidak diketahui dan belajar menerima kemunduran dan menikmati indahnya pertumbuhan dalam prosesnya. Ketika orang tua melepaskan mentalitas komparatifnya, anak-anaknya akan lebih bebas dan berdaya menghadapi perjalanan pertumbuhannya di masa depan.