Yati (Farida Meily), 42 tahun, berasal dari Indonesia, adalah seorang penduduk imigran baru yang menetap di Tianzhong, Kabupaten Changhua, membantu suaminya bekerja sebagai pengumpul tulang. Dua puluh dua tahun yang lalu, Yati pertama kali datang ke Taiwan sebagai pengasuh, ia sempat pulang ke Indonesia untuk memulai usaha sendiri, kemudian kembali dan menikah di Taiwan. Pada awalnya, ibu menentang pernikahan ini karena perbedaan usia 22 tahun dengan suaminya, dan lagi Yati tidak memiliki kerabat di Taiwan.
Meskipun pekerjaan sebagai pengumpul tulang bertentangan dengan keyakinan agamanya dalam Islam, Yati bekerja keras untuk menyesuaikan diri demi kehidupan. Dia menyembunyikan pekerjaan tersebut dari orang tuanya hingga ayahnya datang ke Taiwan dan mengetahui kebenarannya. Awalnya, ayah kesulitan menerima kenyataan tersebut karena beranggapan Yati sejak kecil tidak bisa menghadapi kesulitan.
Yati pernah diejek hanya bisa mengumpulkan tulang, tidak bisa bekerja lainnya, ini yang membangkitkan tekadnya untuk membuktikan dirinya. Yati tidak saja belajar menulis, dan mengemudi, dia juga mengikuti kursus untuk penduduk imigran baru, dan karena adanya pameran karya penduduk imigran baru, sehingga dia mendirikan Grup Tari Srikandi, dia mendorong anggota grup penduduk imigran baru untuk tidak hanya merawat keluarga saja, mereka juga dapat melakukan apa yang disukainya dan hidup mandiri, Yati berharap dapat mempromosikan budaya Indonesia melalui grup tarinya.
Musim panas ini, Yati diundang menjadi instruktur di Kamp Musim Panas Diplomat Cilik di SD Wanlai, Kecamatan Beidou, Kabupaten Changhua, mengajar bahasa Indonesia dan memandu siswa membuat kipas batik Indonesia.Selama liburan musim panas, Farida Meily menjadi pengajar di Kamp Musim Panas Diplomat Cilik Sekolah Dasar Wan Lai, Kecamatan Beidou, Kabupaten Changhua, mengajar bahasa Indonesia. (Gambar/sumber: Kantor Berita Pusat)
Orang tua Yati telah meninggal dunia dalam beberapa tahun terakhir, dan suaminya didiagnosis menderita kanker dua tahun yang lalu, yang menambah tekanan hidupnya. Namun, Yati memilih untuk tidak menangis di depan suaminya dan tidak tahu harus mencurahkan kepada siapa. Pengalaman ini membuatnya mengerti mengapa ibunya dulu menentang pernikahannya yang jauh dari rumah. Meski menghadapi banyak tantangan, Yati terus mengingatkan dirinya sendiri bahwa "menangis tidak akan menyelesaikan masalah" dan dia bertekad untuk terus berkembang, memadukan budaya Indonesia dengan kehidupan di Taiwan.