Indonesia Anugerahkan Gelar 'Pahlawan Nasional' kepada Suharto, Picu Penolakan dari Kelompok Masyarakat Sipil
Pemerintah Indonesia menetapkan mantan Presiden Suharto sebagai satu dari sepuluh penerima gelar “Pahlawan Nasional” tahun ini. Keputusan tersebut segera memicu reaksi beragam di masyarakat, terutama dari kelompok masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia yang menilai penetapan ini masih menyisakan banyak kontroversi sejarah.Suharto memimpin Indonesia hampir tiga dekade pada masa Orde Baru. Pemerintahannya dikenal dengan pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, namun juga dikaitkan dengan pembatasan kebebasan sipil, penangkapan tokoh oposisi, serta berbagai tuduhan pelanggaran HAM yang terjadi dalam periode tersebut.Upacara penganugerahan digelar di Istana Negara Jakarta pada 10 November dan dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto, yang juga merupakan mantan menantu Suharto. Pemerintah menyampaikan bahwa penetapan Suharto mempertimbangkan kontribusinya dalam sejarah awal kemerdekaan dan perannya dalam pembangunan nasional.Namun, keputusan ini menimbulkan respons negatif dari sebagian masyarakat. Sebelumnya, puluhan warga menggelar aksi damai di Jakarta untuk menyampaikan penolakan, sementara petisi daring yang menentang penetapan Suharto sebagai pahlawan telah mendapat ribuan tanda tangan. Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa penetapan tersebut berisiko mengaburkan catatan pelanggaran HAM pada masa lalu.Selain Suharto, dua tokoh lain yang juga dikenal sebagai pengkritik Orde Baru — yakni Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh Marsinah — turut menerima anugerah pada tahun ini. Pengamat menilai hal ini dapat dipandang sebagai upaya pemerintah untuk menampilkan keseimbangan dalam daftar penerima gelar.Penetapan Suharto sebagai Pahlawan Nasional kembali membuka perbincangan mengenai bagaimana Indonesia memandang sejarah, rekonsiliasi, dan nilai demokrasi dalam ingatan kolektif masyarakat.