:::

Insentif Pajak di Tengah Virus Corona Jadi Angin Segar Dunia Usaha?

Insentif Pajak di Tengah Virus Corona Jadi Angin Segar Dunia Usaha?


Kebijakan ekonomi pemerintah berupa insentif pajak dan stimulus sebagai upaya untuk menekan dampak pandemi Coronavirus Diseases 2019 ( COVID-19), menjadi angin segar bagi dunia usaha. Dengan kebijakan tersebut diharapkan dunia usaha tidak terpuruk pasca pandemi dan perekonomian Indonesia bisa tetap stabil. Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad memandang kebijakan pelonggaran pajak merupakan langkah yang tepat.

"Dalam situasi sekarang memang dibutuhkan relaksasi pajak perseorangan maupun badan, namun besarannya jangan sampai terlalu menggerus penerimaan negara,"kata Tauhid saat dihubungi di Jakarta, Senin. Sebelumnya, pemerintah telah memberikan relaksasi pajak melalui penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2020. Kebijakan lainnya adalah pembebasan PPh Pasal 21 untuk pekerja di beberapa sektor usaha tertentu, seperti sektor manufaktur dan pariwisata dengan penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun. Menurut Tauhid, akibat kekurangan penerimaan negara (shortfall) dari sektor pajak lebih dari Rp 400 triliun, negara tentu mengharapkan penerimaan negara dari sektor lainnya tidak berkurang, seperti dari cukai misalnya. Jika dilihat dari skenario pemerintah, penerimaan cukai dari Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai kontributor utama turun sedikit dari target yakni sebesar Rp173 triliun menjadi Rp 165,6 triliun. “Nilai ini masih lumayan dalam menyumbang penerimaan negara,” terang dia

Kebijakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terkait relaksasi untuk IHT, meliputi pelayanan dan pengawasan cukai hingga survei harga pasar dapat menjadi penopang di tengah situasi usaha yang sulit. “Saya kira kebijakan ini perlu dilakukan demi perlindungan terhadap pegawai, baik DJBC maupun pelaku industri di tengah situasi Covid-19,” ujar Tauhid. Tauhid menyebut, kebijakan pelonggaran pajak akan meningkatkan likuiditas perusahaan, sehingga dana tersebut dapat digunakan untuk membayar upah pekerja meskipun produksi atau omzet berkurang karena dampak pandemi. “Paling tidak keputusan ini dapat mendorong perusahaan untuk tidak ikut-ikutan melakukan PHK terhadap karyawannya di tengah situasi ekonomi yang cenderung memburuk,” terangnya. Perusahaan yang tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tetap membayar kewajiban tunjangan hari raya (THR) dinilai sangat berarti bagi buruh/pekerja untuk memiliki daya beli selama pandemi.

Selain itu, Tauhid menambahkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan stimulus tambahan untuk mencegah pelaku usaha melakukan PHK terhadap pekerja atau buruh. Jika dampak pandemi menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan dan penghasilannya, imbuh Tauhid, pemerintah sebaiknya menyiapkan kebijakan pemberian jaminan sosial. "Hal ini berlaku juga pada pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan pelaku sektor informal,” ucap dia.

 

Sumber:Kompas

pajak

Respon Pertama

Berita Populer

回到頁首icon
Loading