Virus corona masih terus menyebar di hampir seluruh negara di dunia hingga saat ini. Selama hampir 6 bulan, sudah ada 8,7 juta orang yang terinfeksi dan 457.275 korban meninggal. Ketika negara-negara secara bertahap mulai membuka kembali perekonomian dan melonggarkan pembatasan sosialnya, para ahli sedang memprediksi bagaimana Covid-19 akan berkembang. Meskipun virus mampu bermutasi dan dapat berkembang dari waktu ke waktu, para ahli mengatakan bahwa tindakan kolektif masyarakat adalah faktor yang lebih menentukan apakah virus akan menjadi lebih berbahaya atau tidak. Seperti semua makhluk hidup, virus berevolusi seiring waktu berkat mutasi kecil dalam kode genetik mereka. Melansir ABC News, dalam kasus virus, "survival of the fittest" tidak selalu berarti bahwa versi virus yang paling mematikan adalah versi yang paling sukses bertahan. "Dalam kebanyakan wabah besar, ternyata, mutasi dan strain baru cenderung kurang mematikan, karena secara umum virus berevolusi dengan kecenderungan untuk tidak membunuh inangnya," kata Dr. Ashish Jha, direktur Harvard Global Health Institute. "Pendorong utama evolusi virus adalah menemukan inang baru," kata Dr. Vincent Racaniello, ahli virologi Universitas Columbia. Menurut Racaniello, tidak masuk akal bagi virus untuk menjadi lebih berbahaya kecuali jika itu membantu penyebarannya lebih cepat.
Secara keseluruhan, para ahli sepakat bahwa meskipun terjadi perubahan genetik kecil, virus tidak mungkin bermutasi dengan cara yang secara substansial akan meningkatkan risiko pada manusia. Pandangan ini berdasarkan pengamatan bahwa virus corona Sars-CoV-2 sudah cukup baik dalam menginfeksi manusia dan bisa menyebar dengan cepat.
Waspada gelombang kedua
Para ahli juga membantah klaim baru-baru ini dari Italia, yang menyatakan bahwa virus corona menjadi lebih lemah. "Saya telah melihat tidak ada bukti bahwa virus telah bermutasi untuk mengubah perilakunya," kata Dr Amesh Adalja dari Pusat Perawatan Kesehatan Universitas Johns Hopkins dan profesor di Sekolah Kesehatan Masyarakat Bloomberg. “Saya pikir mungkin saja orang terinfeksi dengan dosis infeksi yang lebih rendah atau kita berhasil menguji lebih cepat dan mendiagnosis kasus ini lebih awal ketika mereka memiliki viral load yang lebih rendah,” kata Dr Amesh Adalja. Namun, meski virus tidak bermutasi secara signifikan, gelombang kedua infeksi berbahaya pada musim gugur masih mungkin terjadi. Faktor eksternal, termasuk cuaca, juga kemungkinan akan mempengaruhi tingkat keparahan penyakit yang disebabkan oleh Covid-19. Cuaca yang lebih dingin dan lebih lembab memungkinkan virus untuk menular dengan lebih mudah.
Perlu kerja sama
Faktor penting lain menurut para ahli adalah seberapa baik kita mempertahankan diri sebagai populasi. "Langkah-langkah pembatasan sosial telah membuat orang yang terinfeksi, mengalami infeksi dengan dosis infeksi yang lebih rendah, sehingga kecil kemungkinan orang-orang untuk sakit, kata Adalja.
Semakin jauh jarak antar orang (physical distancing), maka semakin kecil kemungkinan mereka untuk terkena partikel virus yang menular. Kalau pun pada akhirnya mengalami infeksi, orang mungkin akhirnya hanya memiliki gejala yang lebih ringan, yang juga bisa berarti lebih kecil kemungkinannya untuk menyebarkan virus ke orang lain. Adalja mengakui ini hanyalah teori kerja yang masih belum dapat dibuktikan. "Itu adalah sesuatu yang perlu kita pelajari untuk mengetahui secara lebih rinci, tetapi itu adalah salah satu hipotesis yang memiliki masuk akal secara biologis," kata Adalja. Dia menambahkan, dengan pengalaman selama pandemi, penyedia layanan kesehatan juga menjadi lebih baik dalam merawat orang-orang, serta memahami komplikasi penyakit.
Pandemi virus corona baru memang membawa segudang ketidakpastian dan pertanyaan yang tak terjawab. Namun, ada langkah nyata untuk melemahkan dampaknya, itulah sebabnya para ahli mendesak masyarakat untuk terus memakai masker, sering mencuci tangan dan menjaga jarak fisik. Pada saat ini, hal-hal tersebut memberikan peluang terbaik, untuk menghentikan penyebaran virus.
Sumber:Kompas