Wabah pandemi corona yang belum usai hingga saat ini telah menyita perhatian masyarakat di seluruh dunia, karena menyebabkan berbagai krisis terjadi di setiap negara terjangkit. Namun, dalam sebuah studi baru menyebutkan ada hal penting lainnya yang juga mengancam dan memiliki risiko tinggi terhadap populasi manusia dan krisis lebih berat lain. Ialah persoalan emisi gas rumah kaca yang terus meningkat dan berpeluang menjadi pandemi baru yang dapat menghancurkan sepertiga populasi manusia di bumi. Prediksi tersebut didapatkan berdasarkan skenario RCP 8.5, yang mewakili masa depan di mana konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tinggi.
Bahkan tim peneliti yang terdiri dari arkeolog, ekologi serta ilmuwan ilklim internasional menyebutkan hasil penelitian yang terbit di tengah pandemi Covid-19 yang mengunci miliaran orang saat ini bisa menjadi peringatan nyata. Peringatan nyata yang dimaksud adalah, emisi karbon yang melaju tinggi akan menempatkan penduduk dunia pada peningkatan risiko dan krisis-krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saat ini populasi manusia terkonsentrasi di zona iklim yang sempit, yakni dengan sebagian besar orang tinggal di tempat-tempat di mana suhu tahunan rata-rata sekitar 11-15 derajat celsius, dan lebih sedikit orang hidup di wilayah dengan suhu rata-rata sekitar 20-25 derajat celsius.
Para peneliti menemukan terlepas dari semua inovasi dan imigrasi yang terjadi di dunia, sebagian besar manusia di bumi telah hidup pada kondisi iklim tersebut selama ribuan tahun.
Dalam skenario itu, di mana emisi terus meningkat tanpa adanya penghentian, suhu yang akan dirasakan oleh rata-rata setiap orang akan meningkat 7,5 derajat celcius lebih panas pada tahun 2070. Kondisi suhu itu lebih tinggi dari perkiraan kenaikan suhu rata-rata global yaitu 3 derajat celsius.
Kaitan hasil penelitian dengan pandemi Covid-19
Dikatakan oleh Profesor Marten Scheffer dari Universitas Wageningen, virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19, telah mengubah dunia dengan cara yang sulit dibayangkan sebelumnya.
"Hasil penelitian kami menunjukkan bagaimana perubahan iklim dapat melakukan hal serupa," kata Scheffer melalui keterangan tertulisnya. Perubahan iklim yang bisa berlangsung lebih cepat ini tidak seperti virus corona yang bisa dicari atau dibuatkan vaksin dan obat penolongnya. Scheffer mengatakan akan ada sejumlah luasan bumi ini yang akan memanas ke tingkat suhu yang nyaris tidak dapat bertahan dan tidak akan dingin lagi. Suhu pada zona terpanas di Gurun Sahara akan menyebar luas hingga dapat dirasakan oleh 19 persen dari luas daratan bumi. Sedangkan, saat ini hanya dirasakan oleh 0,8 persen saja.
"Tidak hanya memiliki efek langsung yang menghancurkan, tetapi juga membuat masyarakat tidak akan mampu mengatasi krisis di masa depan, dan ini akan menjadi seperti pandemi baru," tegas dia. Peneliti dari Universitas Nanjing Tiongkok, Xu Chi yang juga rekan penulis di studi ini mengungkapkan tim peneliti telah memeriksa dan memastikan semua asumsi dengan cermat selama satu tahun. "Terus terang kami tidak percaya dengan hasil awal kami sendiri, karena temuan kami sangat mengejutkan," kata Xu Chi.
Bagaimanapun hasilnya, kata dia, akan sama pentingnya untuk China dan negara lain. Terutama terkait pendekatan secara global untuk melindungi anak-anak dari potensi masalah sosial yang luar biasa yang bisa dipicu oleh perubahan yang telah diperhitungkan. Satu-satunya hal yang dapat menghentikan kondisi terburuk ini adalah dengan pengurangan emisi karbon secara cepat.
Pengurangan emisi gas rumah kaca
Spesialis Iklim dan Direktur Global Systems Institute di University of Exeter, Tim Lenton yang juga penulis di studi tersebut mengatakan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca yang cepat dapat mengurangi separuh jumlah korban yang akan terpapar pada kondisi terpanas seperti itu. "Kabar baiknya adalah dampak ini dapat dikurangi jika manusia berhasil mengendalikan pemanasan global," kata Lenton. Lenton menambahkan dalam perhitungan yang dibuat oleh para peneliti studi menunjukkan bahwa setiap derajat kenaikan pemanasan di atas tingkat suhu sekarang, sama dengan sekitar satu miliar orang yang akan berada di luar wilayah yang layak huni atau kondisi wilayah terpanas dan tidak bisa dijadilan tempat tinggal.
"Adalah penting bahwa kita sekarang dapat mengekspresikan manfaat dari pembatasan emisi gas rumah kaca daripada hanya dari segi dampak keuangan," ujar dia. Penelitian ini telah diterbitkan dengan judul “Future of the Human Climate Niche”: PNAS Mei 2020 atas kerjasama antar-peneliti dari Universitas Wageningen, Universitas Nanjing, Universitas Exeter, Universitas Aarhus dan Universitas Washington, Santa Fe Institute. Perubahan iklim ini akan susah dicari penolongnya jika sampai terjadi. Sehingga berdasarkan skenario yang dibuat sekitar 3,5 miliar populasi di seluruh dunia tidak akan bisa bertahan hidup, 50 tahun yang akan datang atau pada tahun 1970 nanti. Tak hanya pandemi corona yang menyebabkan Covid-19 seperti saat ini, dunia mungkin juga harus menghadapi pandemi baru akibat emisi karbon dari dampak perubahan iklim global.
Sumber:Kompas