Presiden Joko Widodo menegaskan tak setuju dengan usul masa jabatan Presiden diperpanjang menjadi tiga periode. Ia pun curiga pihak yang mengusulkan wacana itu justru ingin menjerumuskannya. "Kalau ada yang usulkan itu ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin.
Jokowi menegaskan sejak awal ia sudah menyampaikan bahwa dirinya adalah produk pemilihan langsung berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi. Sehingga, saat ada wacana untuk mengamandemen UUD 1945, Jokowi sudah menekankan agar tak melebar dari persoalan haluan negara. "Sekarang kenyataanya begitu kan, (muncul usul) Presiden dipilih MPR, Presiden 3 periode. Jadi lebih baik enggak usah amandemen. Kita konsentrasi saja ke tekanan eksternal yang tidak mudah diselesaikan," kata dia.
Sebelumnya, dalam rencana amandemen terbatas UUD 1945 terungkap berbagai pendapat dari masyarakat terkait perubahan masa jabatan presiden. Ada yang mengusulkan masa jabatan Presiden menjadi delapan tahun dalam satu periode. Ada pula yang mengusulkan masa jabatan Presiden menjadi empat tahun dan bisa dipilih sebanyak tiga kali. Usul lainnya, masa jabatan Presiden menjadi lima tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga kali. Baca juga: Suara Penolakan Presiden Dipilih MPR dan Penambahan Masa Jabatan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid sebelumnya mengatakan, usul penambahan masa jabatan presiden didorong oleh Fraksi Nasdem. Sementara Sekretaris Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa menegaskan, fraksinya ingin amendemen UUD 1945 tidak terbatas untuk menghidupkan kembali GBHN. Sangat Berbahaya Saan mengatakan, meski belum diusulkan secara formal, Fraksi Partai Nasdem membuka wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. "Ada wacana, kenapa tidak kita buka wacana (masa jabatan presiden) satu periode lagi menjadi tiga periode, apalagi dalam sistem negara yang demokratis kan masyarakat yang sangat menentukan," ujar Saan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
Menurut Saan, wacana penambahan masa jabatan presiden muncul dari pertimbangan efektivitas dan efisiensi suatu pemerintahan.
Ia berpendapat, masa jabatan presiden saat ini perlu dikaji apakah memberikan pengaruh terhadap kesinambungan proses pembangunan nasional. "Tentu ketika ingin mengubah masa jabatan presiden itu bukan soal misalnya satu periode tujuh tahun atau delapan tahun, atau per periode empat tahun. Tapi kira-kira masa jabatan presiden ini bisa enggak kesinambungan dalam soal proses pembangunan," kata Saan. "Kalau kita punya seorang presiden yang baik, yang hebat, ternyata misalnya programnya belum selesai, tiba-tiba masa jabatannya habis, kan sayang. Ketika berganti akan ganti kebijakan, kesinambungannya kan terhenti," ucapnya.
Dikutip:Kompas