Menurut sebuah berita yang telah dilansir di KOMPAS.com, kecakapan bilingual atau keterampilan multibahasa yakni mencampur-campurkan bahasa satu dengan bahasa lain. Fenomena penggunaan bahasa campur ini makin ramai diperbincangan masyarakat Indonesia. Persoalan bilingual ini semakin ramai lagi setelah ungkapan 'bahasa Jaksel' muncul. Bahasa Jaksel adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan keterampilan seseorang yang berbicara dengan bahasa yang dicampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Bahasa Jaksel adalah istilah yang digunakan karena kebanyakan orang yang dalam kesehariannya berbicara dengan mencampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah anak-anak muda yang tinggal di sekitar kawasan Jakarta Selatan (Jaksel).
Oleh sebagian orang, penggunaan bahasa gaul Jaksel ini disebut juga dengan 'bahasa gaul' dan sebagian lainnya juga menyebutnya dengan 'bahasa gado-gado'. Namun, sejak kapan sebenarnya bilingual atau multibahasa ini mulai digunakan di Indonesia? Apakah memang penggunaan bahasa campur-campur merupakan hal baru di tanah air?
Menjawab persoalan ini, Dosen di Departemen Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Yogyakarta, Rasman mengatakan bahwa bilingual atau multibahasa bukanlah hal baru di Indonesia. Menurut Rasman, sebenarnya penggunaan pola bahasa yang mencampur antar satu bahasa dan bahasa lainnya sudah ada sebelum tahun 1945.
"Sebenarnya praktik bilingual ataupun penggunaan bahasa 'gado-gado' (campur-mencampur beberapa bahasa) jika ditelusuri sudah ada sejak lama. Bahkan, semenjak sebelum kemerdekaan Indonesia," kata Rasman kepada Kompas.com, Selasa (11/1/2022).
Dahulu, kata Rasman, bilingual atau pencampuran bahasa yang digunakan memang agak jarang, bahkan bahasa campur pada saat itu tidak menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Melainkan, dahulu masyarakat lebih umum atau lebih banyak yang mencampur bahasa Melayu, Jawa dan Belanda saat berbicara ataupun bertukar informasi dalam sebuah tulisan.
"Dulu pencampuran bahasa Melayu, Jawa dan Belanda merupakan hal yang lumrah," ujarnya. Metode yang digunakan pun ada dua dalam proses bilingual atau multibahasa yang dilakukan pada zaman itu yakni Codeswitching dan Codemixing, serta sebagian besar yang mencampur bahasa ini adalah pegawai yang mendapati pendidikan dengan baik.
Ramai Berbicara Bahasa Campur, Kapan Bilingual Mulai Digunakan di Indonesia?
Sumber: KOMPAS.com
Contoh penggunaan bilingual bahasa campur
Terkait fenomena penggunaan bahasa campur di Indonesia ini, untuk diketahui, menurut Herk (2012), Codeswitching (alih kode) adalah berganti-ganti antara dua bahasa atau variasi bahasa dalam satu percakapan melintasi batas kalimat atau klausa.
Contoh dari multibahasa Codeswitching yaitu seperti berikut.
A : Dari mana?
B : Dari situ.
A : Loh aku juga dari situ tadi. Kok yo ra ketok'an sampeyan?
Dalam penyampaian yang diucapkan oleh A, itu menggambarkan adanya multibahasa Codeswitching yang terjadi. Sebab, ada peralihan bahasa yang ia ucapkan. Dari awalnya menggunakan bahasa Indonesia pada kalimat awal, kemudian dilanjutkan dengan bahasa Jawa pada kalimat tambahannya secara utuh tidak hanya satu atau dua kata saja. Hal ini berbeda dengan Codemixing.
Berdasarkan Grosjean (1982), Codemixing (campur kode) adalah perubahan satu bahasa ke bahasa lain dalam ujaran yang sama atau dalam teks lisan atau tulisan yang sama. Contohnya seperti kalimat 'Jangan suka nge-judge gitu dong. Jangan lihat dari cover-nya aja'.
Kata judge dan cover di sini merupakan bahasa Inggris yang disisipkan ke dalam kalimat pengucapan Bahasa Indonesia. Dalam contoh ini terlihat bahwa, bahasa yang ada tidak berganti di seluruh kalimat, tetapi hanya pada satu atau dua kata saja dengan bahasa lain atau bahasa asing agar terlihat lebih keren. Atau kadang orang memakai bahasa asing tersebut agar lebih pas dengan maksud dan makna yang ingin mereka sampaikan.
Artinya, kadang satu atau dua kata asing yang digunakan dalam kalimat tersebut lebih pas untuk menekankan inti dari apa yang ingin disampaikan penutur. Sebab, bisa jadi jika kalimat yang digunakan adalah bahasa Indonesia dalam hal ini akan terdengar kurang pas. Seperti cover jika disebut dalam Bahasa Indonesia yaitu artinya sampul, tetapi di sini bisa berarti penampilan seseorang yang sedang dibicarakan.
Contoh dari praktik bilingual atau multibahasa Codemixing inilah yang banyak dipakai dalam 'bahasa Jaksel' yang saat ini ramai digunakan masyarakat Indonesia. Rasman menjelaskan bahwa penggunaan multibahasa atau bilingual ini masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini.
Namun, pencampuran yang dilakukan adalah antara bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Secara sadar atau tidak, kita sering menggunakan berbagai bahasa dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, public figure maupun pejabat publik sering menggunakannya. Seperti public figure atau tokoh Najwa Shihab dan Sri Mulyani dalam akun YouTube Najwa Shihab dengan judul SMI Buka-bukaan tentang DPR hingga Pilpres. "Biasanya ada fresh perspective sesudah ada distance," ucap Sri Mulyani.
Dalam percakapan tersebut, ada banyak sekali pencampuran bahasa atau bilingual yang dipraktikkan oleh keduanya. Rasman menuturkan, jika Sri Mulyani dan Najwa Shihab lebih banyak mencampurkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Maka, di daerah-daerah lebih cenderung terjadi pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Ini artinya, bilingual atau penggunaan bahasa yang mencampur-campurkan antara yang satu dan yang lainnya masih akan dipakai dan terus berlaku hingga saat ini dan masa yang akan datang. "Sekarang peluang untuk bahasa mencapur-campur lebih tinggi karena adanya perkembang teknologi yang membuat informasi dan pengetahuan mengenai bahasa selain yang dikuasai lebih cepat sampai ke kita," ujarnya.